Taha Hussein
Taha dilahirkan di sebuah desa dekat hulu Sungai Nil dengan memiliki keterbatasan fisik dan Ekonomi. Sejak usia 3 tahun, Taha mengidap penyakit ophthalmia yang menyebabkan kebutaan pada kedua matanya namun dengan segala usahanya, pada usia 13 tahun, Taha menghafal 30 juz al-Quran. Keluarga Taha termasuk kelompok menengah ke bawah, ayahnya seorang petani yang memiliki ladang sangat terbatas. Dengan segala keterbatasannya, Taha berhasil melalui masa sulit tersebut dan tidak berpangku tangan menerima takdir begitu saja.
Setelah selesai menjalani program wajib belajar, Taha melanjutkan studinya di Universitas Al Azhar dengan jurusan sejarah dan sastra Arab namun Taha kerap melampiaskan kekecewaannya karena di Al Azhar tidak begitu akrab dengan tradisi kritisisme dan lebih membentuk taklidisme. Selang 1 tahun berjalan, Taha memutuskan pindah ke Universitas Kairo yang saat itu baru didirikan dan berganti nama Universitas Mesir. Di Universitas Mesir, Taha menyelesaikan Ph.D dengan judul disertasi filsafat Abu Al-Maari. Dari disertasinya bisa disimpulkan bahwa pikiran modernis Taha banyak dipengaruhi oleh 3 sosok penting yaitu Abu Al-Maari, Ibnu Khaldun dan Rene Descartes. Kemudian Taha mendapatkan beasiswa S3 untuk kedua kalinya dari Universitas Mesir ke Prancis. Taha memilih Sorbonne University sebagai destinasi akademik selanjutnya dan berhasil mempertahankan penelitian dengan judul disertasi Philosophy of Ibnu Khaldun: Introduction and Criticism. Di Perancis inilah, Taha mempersunting seorang wanita "suara emas" yang bernama Suzanne Bresseau sebagai istri, teman diskusi sekaligus mentor kehidupannya dan dikaruniai dua orang anak cerdas yaitu Amina dan Moenir.
Dalam mengenyam pendidikan, tidak diragukan lagi elan dan pamor Taha menjadi daya pikat tersendiri bagi masyarakat Mesir saat itu. Kebutaan mata yang dialaminya tidak lantas membuatnya menyerah dengan keadaan namun justru Taha bertransformasi menjadi cendekiawan muslim yang patut dielu-elukan dipenjuru Mesir saat itu. Bahkan tidak ada omongan, percakapan, bahkan gosip di ruang kampus maupun warung kopi, melebihi Taha. Selama 30 tahun, Taha menghabiskan sisa umurnya di Universitas Mesir sebagai profesor karir dimana karir jabatan akademiknya dimulai dari nol, bukan penghargaan semata.
Nama Taha sendiri mencuat ke publik saat dirinya menerbitkan buku fi Syi'ri al-Jahiliy (Syair-Syair Jahiliyah). Melalui bukunya tersebut, Taha mulai menabrak tradisi, mengkritik habis ortodoksi Islam bahkan mengkritik otentisitas al-Qur'an dan al-Hadits serta doktrin para yuris terdahulu. Menurut Taha, syair-syair jahiliyyah terdahulu merupakan karya para yuris Islam yang tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Bahkan Taha secara ekstrem mengatakan kisah Ibrahim dan Ismail hanyala fiktif semata, hasil rekayasa dari para sastrawan terdahulu meskipun secara eksplisit disebutkan dalam al-Qur'an dan Taurat. Dari kontroversialnya tersebut, Taha mendapatkan kritik keras dari 'ulama Mesir bahkan mendapatkan cemoohan yang tidak pantas "a'mal bashir wal bashirah" (Taha itu buta mata dan buta hati).
Terlepas dari kontroversinya tersebut, ada pelajaran yang dapat kita ambil dari sosok Taha yaitu kritisisme. Taha sangat ragu, gampang bimbang dan tidak mudah percaya atas setiap doktrin agama sampai dapat dibuktikan kebenarannya secara ilmiah. Sikap kritis ini mengantarkan Taha menjadi sosok yang lengkap. Sikap kritisnya dibentuk dari intelektualitas diri sekaligus lingkungan yang mewadahinya; kota Paris. Mengapa lingkungan itu dapat membentuk kepribadian seseorang? menurut Taha, lingkungan dan tradisi akan berkorelasi positif terhadap tumbuh kembang seseorang. Jika muslim Mesir ingin maju dan tidak tertinggal dari peradaban dunia maka muslim Mesir harus meninggalkan konservatisme menuju tradisi barat yang sarat ilmu pengetahuan dan kebebasan berpikir. Artinya seorang muslim yang ingin maju maka harus sering-sering piknik lintas negara, lintas pemikiran bahkan lintas agama sehingga mendapatkan pengalaman yang komprehensif.
Pikiran-pikiran Taha banyak juga mempengaruhi cendekiawan muslim progresif Indonesia sebut saja Nurcholish Madjid, Dawam Raharjo, dan sebagainya. Tokoh-tokoh kritis ini melakukan debut awal kebangkitan intelektual Indonesia sebagai pemain utama di gelanggang kehidupan, bukan hanya sekedar penonton / pemain cadangan di tribun utama bangsa. Demikian pula dengan Taha, berkat pikiran-pikirannya, Taha dijuluki sebagai bapak Sastra sekaligus Renaisans Mesir.
Posting Komentar untuk "Taha Hussein"