Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Izzuddin ibn 'Abd Salam


Izzuddin ibn 'Abd Salam memiliki julukan sulthonul 'ulama (raja orang yang berilmu). Beliau dilahirkan tahun 1181 M dan wafat pada tahun 1262 M (660 H). Izzuddin berkiprah sebagai tokoh praktisi dan akademisi. Beliau seorang Ketua Mahkamah Agung (Qadhi al-Qudhat), teolog Asy'ariah, muhaddits (ahli hadits) dan seorang mujtahid bermazhab syafi'iyah. Beliau adalah seorang pembelajar sejati yang sangat gigih menuntut ilmu dan berkat keluasan ilmunya, pendapatnya selalu dirujuk oleh para yuris setelahnya.

Gelar raja orang yang berilmu tidak membuat dirinya sesumbar atau besar kepala untuk menyudahi perburuan ilmu pengetahuan namun justru memotivasi dirinya untuk terus produktif. Tak khayal, banyak karya tulisnya yang telah didokumentasikan untuk generasi setelahnya. Lahir dari bukan keluarga siapa-siapa, tidak lantas membuat Izzuddin pesimis atau minder justru keterbatasan ekonominya tidak mampu membendung semangatnya untuk terus belajar dan tumbuh, dirinya membuktikan kepada dunia saat itu bahwa kecerdasan milik semua orang hanya saja apakah dia memilih untuk cerdas atau tidak. Masa mudanya habis untuk menuntut ilmu, bukan kongko-kongko gak jelas bersama rekan sebayanya. Saat itu, Izzuddin dewasa sudah mengimplementasikan manajemen pembelajar dalam dirinya yang akhir-akhir ini sedang booming dalam ilmu manajemen.

Salah satu karya masterpiece Izzuddin adalah Qawa'id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam berjumlah 2 jilid. Buku ini memiliki redaksi yang mudah dipahami dan fokus pada pembahasan setiap masalah hukum. Buku ini berisi qawa'id (abstraksi hukum) yang berjumlah lebih dari 200 kaidah hukum dalam bidang ibadah, muamalah (termasuk ekonomi Islam) dan jinayah (pidana Islam). Sudah lazim diketahui bahwa kaidah fikih adalah premis mayor yang dapat diterapkan (tathbiq) sebagai asas dalam menghadapi berbagai persoalan fikih yang beraneka ragam.  

Izzuddin ibn ‘Abd al-Salam (W. 660 H) banyak menjelaskan tentang prinsip kemaslahatan. Dia menyatakan bahwa kemaslahatan terbagi dua yaitu kemaslahatan duniawi dan kemaslahatan ukhrawi. Kemaslahatan duniawi dapat diketahui dengan akal sedangkan kemaslahatan ukhrawi hanya diketahui dengan teks wahyu. Akal memiliki sensitivitas dalam menggali kemaslahatan material sedangkan kemaslahatan non-material hanya dapat merujuk teks wahyu (revelation), akal tidak memiliki stamina cukup untuk mengungkap sesuatu dibalik materi.

Sebagai Ketua Mahkamah Agung saat itu, Izzuddin banyak mengeluarkan kebijakan yang kontroversial demi mewujudkan kemaslahatan publik tidak hanya untuk kepentingan pegawai tetapi juga untuk kepentingan organisasi. Sebagai pejabat negara, Izzuddin juga memberikan contoh kesederhanaan dalam kesehariannya. Hal itu wajar, karena memang Izzuddin lahir bukan dari keluarga ningrat atau darah biru sehingga sudah terbiasa dengan hidup apa adanya, bukan ada apanya. Baginya, jabatan prestisius apapun tidak patut dipertahankan jika harus mendatangkan kemudharatan bagi umat. Terbukti, dirinya mengajukan pengunduran diri dari jabatan Ketua Mahkamah Agung ketika putusan kasus Perbuatan Melawan Hukum berupa pembongkaran rumah pemain musik di dekat masjid yang membuat gaduh publik saat itu.

Ketika menjadi Hakim, Izzuddin kerap kali mengeluarkan putusan kontroversial di zamannya, putusan hukumnya menjadi landmark decision bagi peradaban hukum saat itu, putusannya selalu menarik untuk dicermati dari berbagai aspek, putusannya melampaui zamannya sehingga terjadi pro kontra di masyarakat. Namun dibalik kontroversialnya, Izzuddin berkeyakinan bahwa apa yang dilakukannya semata-mata untuk kemaslahatan umat bukan untuk kepentingan dirinya sendiri apalagi kelompoknya.

   

Posting Komentar untuk "Izzuddin ibn 'Abd Salam"