Ibnu Hazm
Ibnu Hazm memilih Mazhab Zahiri dalam ritual keagamaan sehari-hari baik dalam ibadah maupun muamalah. Mazhab Zahiri sendiri dikenal sebagai aliran hukum yang sangat tekstual. Pilihan Ibnu Hazm terhadap Mazhab Zahiri tidak terlepas dari kemelut politik kota Andalusia akibat perebutan kekuasaan tertinggi jabatan khalifah serta adanya intervensi dari negara Barat. Dan untuk menjaga stabilitas politik saat itu, maka pemerintah memberlakukan hukum secara ketat dan sangat normatif.
Ibnu Hazm berpendapat bahwa untuk menegakkan kembali syariat Islam di kota Andalusia, Ibnu Hazm menganggap perlu menetapkan hukum Islam secara legal formal sebagaimana yang tersurat dari 2 (dua) sumber utama Islam yaitu Qur'an dan Sunnah secara ketat. Dengan cara itulah, citra penerapan dan pelaksanaan hukum Islam dapat terakomodir dalam masyarakat muslim.
Yang menarik dari pemikiran Ibnu Hazm adalah dirinya menolak taklid buta (mengikuti pendapat) orang lain tanpa kritisisme. Ibnu Hazm mengecam praktik tersebut karena masih ada sumber otoritatif yang lebih patut dijadikan rujukan yaitu Qur'an dan Sunnah. Seorang muslim lebih baik langsung merujuk kepada kedua sumber tersebut ketimbang harus mengikuti pendapat yuris lain apalagi landasan metodologi hukum Islam yang digunakan masih dalam tataran perdebatan seperti istihsan (kemanfaatan hukum), qiyas (analogi hukum), ta'lil al-ahkam (motif hukum), sad al-zari'ah (hukum preventif) dan lain-lain. Dengan merujuk kedua sumber ororitatif maka sorang muslim akan terhindar dari segala bentuk interpretasi subjektif yang bersifat relatif.
Kontribusi Ibnu Hazm terhadap Mazhab Zahiri adalah menjadikan mazhab tersebut sebagai aliran hukun yang familiar di kalangan masyarakat muslim Andalusia dan Afrika Utara sekaligus upaya kritik terhadap praktik ijtihad yang berani melakukan akrobasi hukum (hailah) tanpa rujukan yang jelas. Kritik Ibnu Hazm tersebut dituangkan dalam karyanya yang berjudul al-Ihkam fi Usul al-Ahkam. Selain itu, pikiran-pikiran hukum Ibnu Hazm juga diterbitkan dalam kitabnya yang berjumlah 18 jilid yang berjudul al-Muhalla.
Ibnu Hazm sebagai tokoh tekstualis menggunakan metode istidlal untuk menggali hukum-hukum kontemporer yang belum ditegaskan secara definitif dalam teks Qur'an dan Sunnah serta hal-hal baru yang muncul akibar perubahan sosial. Ibnu Hazm merujuk nushush (teks Qur'an dan Sunnah) dan konsensus para yuris Islam sebagai dasar hukum bagi fenomena baru yang belum ada aturannya. Meskipun Ibnu Hazm sangat ketat dalam menetapkan sebuah hukum namun dirinya memiliki rasa toleransi yang amat tinggi terhadap perbedaan pendapat antar yuris Islam.
Fenomena beragama yang sangat tekstual dan kaku akhir-akhir ini bukan barang baru akan tetapi pernah ada dalam catatan sejarah Islam sebelumnya. Lahirnya berbagai penafsiran alternatif bukan untuk saling mengeliminasi penafsiran lain atau menyudutkan pendapat orang lain akan tetapi sebagai khazanah Islam yang selalu relevan untuk setiap zaman dan keadaan. Selain mahir dalam persoalan hukum, Ibnu Hazm juga merupakan tokoh pujangga cinta yang romantis. Berikut puisinya tentang cinta;
"..Sungguh, cinta sejati tak lahir dalam sebuah kejapan. Cinta juga bukan lahir dari paksaan. Namun, cinta sejati berjalan lambat dan pelan. Cinta selalu berjalan dalam panduan panjang dan pancangan tiang. Cinta sejati lahir karena mantapnya niat, teguhnya tujuan, bukan sekedar ikatan. Cinta oh Cinta.."
Posting Komentar untuk "Ibnu Hazm"