Nasr Hamid Abu Zayd
Dalam perjalanan hidupnya, Nasr Hamid muda pernah mendekam di sel penjara bukan karena terlibat tindak pidana korupsi, suap atau gratifikasi akan tetapi diduga terafiliasi dengan pemikiran kelompok garis kanan Mesir yaitu Ikhwanul Muslimin yang dimotori oleh Sayid Qutb. Fenomena ini tidak terlepas dari figur sang ayah yang tergabung sebagai aktivis Ikhwanul Muslimin pasca dieksekusinya Sayid Qutb. Saat itu, Nasr Hamid menyukai pemikiran Sayid Qutb melalui bukunya Al-Islam wal 'Adalah al-Islamiyah. Namun seiring waktu, Nasr Hamid bertransformasi menjadi cendekiawan yang sangat paham dengan metodologi Islam fundamental dan liberal, dari teolog transendental menjadi sosiolog kultural.
Beranjak remaja, Nasr Hamid mulai meminati kajian sastra dan linguistik. Dirinya mulai mempublikasikan karya tulisnya pada jurnal al-Adab pimpinan Amin Al-Khuli dan pada saat itu, dirinya mulai mengkritik pemikiran kelompok Ikhwanul Muslimin yang dahulu digemarinya. Kemampuan sastra dan linguistiknya ternyata linier dengan latar belakang Ph.D dalam bidang studi Islam dan bahasa Arab. Dirinya cukup produktif sehingga semasa hidupnya, Nasr Hamid menerbitkan belasan buku di antaranya Naqd al-khitab al-Dini dan Mafhum al-Nash.
Dalam percakapan intelektual, Nasr Hamid mencetuskan konsep hermeneutika Al-Qur'an yaitu metodologi atau pisau bedah untuk menafsirkan Al-Qur'an dalam 3 (tiga) perspektif yaitu author, pembaca, dan teks itu sendiri. Dengan kata lain, hermeneutika adalah metode ta'wil di dalam Al Qur'an. Nasr Hamid bukanlah satu-satunya tokoh intelektual yang merintis hermeneutika modern, masih banyak rekan sejawatnya terdahulu yang sudah melontarkan hermeneutika sebut saja Amir 'Ali, Muhammad Abduh, Hasan Hanafi, Mohamed Arkoun, Fazlur Rahman dan Abdol Karim Soroush. Ketertarikan Nasr Hamid pada hermeneutika Al-Qur'an saat dirinya menulis kitab al-Hirminiyutika. Dengan buku ini, pro-kontra silih berganti. Kritik terhadap pikiran Nasr Hamid semakin menguat sebab Nasr Hamid dituduh "terlalu berani" mengatakan Nabi Muhammad sebagai "pengarang al-Qur'an".
Ketika berbicara teks al-Qur'an, Nasr Hamid menghubungkan teks dengan budaya, bahasa dan sejarah. Teks lahir bukan di ruang hampa akan tetapi terikat konteks yang mewadahinya. Menurut Nasr Hamid, Al-Qur'an ketika pertama turun ke Nabi maka posisi Nabi adalah penafsir pertama agar Al-Qur'an dapat berinteraksi dengan masyarakat arab saat itu. Ucapan paling kontroversialnya adalah Nasr Hamid menyebut teks Al-Qur'an selain skrip suci juga merupakan produk sosial, budaya dan kemanusiaan (muntaj al-tsaqafi) yaitu Al-Qur'an tidak bisa dipisahkan dari konteks budaya dan sejarah. Atas kontrovesialnya tersebut, Nasr Hamid mendapatkan ancaman yang pada akhirnya merasa tidak nyaman sehingga Nasr Hamid meninggalkan negaranya dalam waktu yang cukup lama, pindah ke negeri Belanda. Ironisnya, di Mesir dirinya dikafirkan sedangkan di Eropa diistimewakan.
Hermeneutika
berhasil mendobrak kebekuan ajaran Islam. Penafsiran progresif penting
digalakkan demi menjawab persoalan kemanusiaan kontemporer dan
kompleksitas kehidupan. Menurut Nasr Hamid, Al-Qur'an menyediakan
pedoman etika umum namun tidak memiliki jawaban atas semua masalah
kemanusiaan dan sosial. Oleh karena itu, ajaran al-Qur'an perlu diinterpretasikan sesuai kebutuhan zaman.
Berkat kerja pikirnya, Nasr Hamid menyandang gelar the best known interpretative, yaitu seorang mufasir yang menawarkan ide dan gagasan melampaui penafsir klasik atas teks. Meskipun Nasr Hamid tidak pernah mendeklarasikan dirinya sebagai hermeneutik Islam modern namun sikapnya yang terpukau dan membuka mata pengetahuannya tentang hermeneutika, dirinya patut diganjar sebagai tokoh hermeneutik Islam modern.
Kinerja Nasr Hamid yang berhasil melahirkan metodologi hermeneutika modern dalam menafsir al-Qur'an tidak terlepas dari peran akalnya yang dominan. Akalnya dipergunakan untuk berpikir secara maksimal sehingga teorinya dirujuk cendekiawan muslim memahami Al-Qur'an dalam sejarah percapakan studi Islam modern. Nasr Hamid menjajarkan dirinya dengan tokoh terkemuka sarjana muslim kontemporer lainnya seperti Amin Al-Khuli dan Fazlur Rahman berkat kemampuan berpikir analisis-kritis terhadap literatur keislaman meskipun akhir hayatnya mendapatkan tuduhan seorang apostasi (Murtaddin).
Gejolak intelektual di dalam diri Nasr Hamid sangat berarti bagi peradaban ilmu pengetahuan Islam, dirinya terlalu berani menampilkan isu-isu kontroversial namun ajaibnya diam-diam diikuti oleh generasi setelahnya. Nasr Hamid datang bukan dengan penemuan ilmiah yang baru (mu'jiza al-jadid) akan tetapi dirinya hanya mengelola tradisi keislaman klasik yang sudah ada kemudian dimodifikasi kembali. Semoga sumbangsih konseptual hermeneutika Al-Qur'an yang sarat kontroversial menjadi amal jariyah baginya.
Posting Komentar untuk "Nasr Hamid Abu Zayd"