Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Birokrasi Buatan (Artificial Bureaucracy)

Fase perjalanan umat manusia terdiri dari 3 (tiga) fase dan masa depan telah memaksa homo sapiens untuk bertransformasi diri kepada yang lebih canggih yaitu homo deva.

Fase pertama, manusia memasuki tahap perkenalan dengan alam lingkungan, gaya hidupnya sederhana. Hal ini diketahui dari perkakas yang digunakan dalam kegiatan sehari-hari. Penghuni fase pertama adalah homo erectus asal Afrika timur sejak 10.000 tahun lalu. Salah satu ciri khasnya adalah hidupnya nomadik dan pertempuran antar jenis dan suku sudah menjadi pekan olahraga nasional di kala itu. 

Fase kedua, manusia memasuki fase kehidupan yang modern. Inilah puncak dari homo sapiens saat ini yang sudah familiar menggunakan teknologi dalam aktivitasnya sehari-hari. Tidak lagi perkakas batu akan tetapi mesin cerdas dan teknologi mutakhir. Fase ini mencapai puncak sejak 500 tahun lalu hingga sekarang. 

Fase ketiga, Manusia modern yang merupakan kelanjutan dari homo sapiens yaitu homo deva yang struktur identitasnya terdiri dari 3 bagian yaitu intuisi, inovasi dan identitas. Homo Deva mulai sejak tahun 2020 hingga masa depan. 

Transisi manusia baru dari jenis homo sapiens menuju homo deva jika dianalogikan sebagai berikut: homo sapiens adalah jantungnya bumi sedangkan homo deva adalah kerongkongan bumi, dan seterusnya. Homo Deva merupakan jenis manusia yang dapat kita analisis dari karakter, tubuh, mental anak-anak kita saat ini sehingga sering kita jumpai anak-anak saat ini mengalami penyakit yang aneh, gangguan mental akibat transisi perubahan dari manusia bijaksana kepada manusia dewa.

Di masa depan, manusia yang berjenis homo deva ini akan memenuhi bumi. Mereka  memiliki kelebihan yang jauh dari standar manusia saat ini di mana intuisi, inovasi dan identitas yang terintegrasi menjadi satu kekuatan besar yang dapat memberikan warna aktivitas produktif yang tak terpikirkan sebelumnya. Mereka akan melakukan berbagai akselerasi inovatif dan gagasan baru termasuk membangun birokrasi buatan.

Industri 5.0 memaksa lembaga-lembaga negara untuk membentuk birokrasi buatan (artificial bureaucracy) yang karakteristiknya adalah saat teknologi kecerdasan buatan telah menjadi “manusia” yang memiliki kecerdasan dan kesadaran bahkan melampaui manusia itu sendiri serta mampu membantu kegiatan operasional organisasi yang membutuhkan otomatisasi interaksi dengan pelanggannya. Bila teknologi kecerdasan buatan (AI) berubah menjadi sebuah komoditas maka tidak lagi diperlukan tenaga manusia di belakangnya. AI juga dapat mengotomatisasi pekerjaan yang membutuhkan analisa algoritma, matematika kompleks dan pola-pola.

Perubahan industri 5.0 sangatlah cepat. Hal ini terbukti dari lahirnya inovasi-inovasi setiap hari dari berbagai organisasi baik swasta maupun negeri misalnya teknologi informasi, keuangan, layanan dan sebagainya. Banyak organisasi menjadi tidak relevan. Cara kerja lama menjadi tidak mempan. Strategi bisnis yang biasa jadi ketinggalan zaman dan kompetensi semua orang yang bangga akan masa lalu telah karatan. Tuntutan perubahan semakin nyata. Organisasi yang masih sibuk dengan urusan harian dan tak berorientasi masa depan akan kehilangan kesempatan dan kian jauh ketinggalan. 

Konsep birokrasi buatan (Artificial Bureaucracy) adalah sistem kinerja dan pelayanan yang terintegrasi dengan kecerdasan buatan, algoritma dan jaringan internet. Pelayanan yang disajikan sepenuhnya digital tidak lagi manual, manusia dewa di belakangnya hanya sebagai programmer jitu dan tenaga perbaikan, mereka tidak lagi turun tangan untuk menginput sistem dan aplikasi, mereka hanya duduk manis memikirkan jenis layanan selanjutnya.

Birokrasi buatan tidak terlepas dari peran singularitas di mana mesin dan kecerdasan buatan dapat melakukan tugas dan kinerja seperti manusia. Bobot pekerjaan dapat diberikan kepadanya secara unlimited. Yang pasti birokrasi buatan lebih ramping, sedikit karyawan, hemat biaya dan energi yang dihasilkan lebih bersih karena bahan bakar penggerak birokrasi buatan tidak lagi menggunakan fosil tetapi bahan alam lainnya seperti etanol, bahan daur ulang, dll.

Fenomena birokrasi buatan di setiap organisasi sejalan dengan perubahan jenis homo itu sendiri. Birokrasi buatan hanya dapat dilakukan dengan bantuan jenis homo deva yang tidak mengeluh, tak kenal lelah apalagi uang sogok. Birokrasi buatan sebagai bentuk respon terhadap perubahan kehidupan yang serba digital sehingga dengan familiarnya manusia kepada digitalisasi dan teknologi maka birokrasi dan sistem layanan sudah seharusnya juga ikut bertransformasi.

Birokrasi buatan tidak lagi memedomani buku rujukan dalam administrasi akan tetapi memedomani aturan main baru yang merupakan ciri khas abad 21 yang serba high-tech. Di masa depan, administrasi dan tata kelola akan bersifat otomatis, tak terkendali. Mesin akan menginput sendiri data-data dan tahapan yang harus dilakukan secara linier. Birokrasi buatan tidak lagi terbatas hanya dokumen tertulis semata akan tetapi dokumen video atau rekaman sebagai awal pengajuan dokumen. Mesin akan membentuk secara mekanis setiap tahapan administrasi dan tata kelola melalui instrumen elektronik dan digital. Kertas, printer, map, alat tulis kantor dan lain sebagainya akan berubah 180 derajat menuju alat tulis elektronik dan kertas digital sehingga biaya semakin terjangkau, akses layanan meningkat dan kualitas produksi semakin optimal.

Birokrasi buatan tidak mengayomi jabatan struktural yang ada seperti sekarang ini tetapi cukup didelegasikan kepada mesin cerdas untuk mengaturnya. Mantan pejabat struktural beralih menjadi pejabat fungsional. Birokrasi buatan terus berubah-ubah menuju kesempurnaan sebagaimana perjalanan teknologi dan sains yang terus bereksperimen sehingga tuntutan kemampuan beradaptasi akan selalu terpatri di dalam diri insan manusia.


Posting Komentar untuk "Birokrasi Buatan (Artificial Bureaucracy)"