Sosiologi Kaum Urban
Kaum urban adalah kaum yang lahir dari rahim modernitas sebagaimana ucapan Anthony Giddens yang mengatakan bahwa kaum urban merupakan kaum yang lahir dari dua ujung yaitu ujung abad 20 dan ujung dari modernitas.
Abad 20 merupakan fase awal masyarakat modern yang merupakan lanjutan dari masyarakat industri. Era informasi yang akrab dengan teknologi ditandai dengan mudah diperolehnya informasi yang berserakan dimana-mana. Informasi menjadi bahan mentah yang diolah menjadi output teknologi yang memajukan peradaban umat manusia. Pasca modernitas, manusia urban akan masuk ke dalam era post-informasi yang mengelaborasi antara manusia dengan mesin cerdas.
Salah satu teknologi transportasi teranyar di dalam masyarakat informasi adalah MRT (Mass Rapid Transit) sebagai moda transportasi publik merupakan maskot kaum urban Jakarta yang menyediakan berbagai fasilitas terpadu, kecepatan dan kenyamanan sebagai simbol kemajuan kota. Pola interaksi kaum urban yang mengagungkan privasi menjadi magnet tersendiri bagi setiap orang untuk mengadu nasib di ibu kota tersebut.
Sebagai kota metropolis, Jakarta yang penuh sesak dengan urbanisasi dan modernisasinya dapat memadukan antara prinsip komunikasi dengan pola interaksi sehingga antar personal dan kelompok saling berkolaborasi satu sama lain. Mereka saling tukar tambah informasi sekaligus saling menambal sulam plus-minus masing-masing individu.
Sepintas bagi orang yang pertama tinggal di ibu kota selalu ada pertanyaan dibenaknya, apakah nilai-nilai persaudaraan dan setia kawan masih ada di kota yang penuh gemerlap lampu warna warni itu? Tak disangka, rasa persaudaraan dan nilai-nilai kebersamaan itu masih ada, melekat di setiap tiang gedung-gedung megah. Semakin kosmopolitanisme sebuah masyarakat kota maka semakin kuat nilai-nilai primordialisme personalnya. Artinya semakin maju sebuah negara atau kota maka semakin kuat rasa persaudaraannya. Karena modal sosial berupa kesejahteraan dan keguyubannya tetap terjaga.
Salah satu ciri khas masyarakat urban adalah individualisme dalam hidup. Mereka jarang bercakap, bergaul dan berkomunikasi antar sesama bahkan tetangga. Mereka memilih sunyi meskipun di keramaian kota. Individualisme kaum urban ini lebih apatis terhadap kehidupan orang lain karena mengagungkan privasi individu. Bagi mereka, diri sendiri merupakan entitas rahasia yang wajib dihormati dan dilindungi antar sesama sehingga tercipta harmonisasi, rasa saling menghargai antar satu dengan yang lain. Mengganggu privasi kaum urban tidak hanya hukum yang bertindak akan tetapi etika dan normapun ambil bagian.
Individualisme kaum urban ke depan akan surut tergantikan dengan “guyubisme” yang merupakan DNA awal masyarakat nusantara. Cepat atau lambat, masyarakat urban perlahan kembali kepada tradisi guyub; antar keluarga, rekan dan sesama. Mereka senang bercengkrama, nge-rumpi dan interaksi secara bersama yang ditandai dengan kedai kopi yang menjamur di setiap sudut kota metropolis tersebut. Hal ini membuktikan bahwa bukan rasa kopinya yang diburu tetapi kebersamaannya yang dirindu.
Asmilasi budaya juga mewarnai kehidupan sosial di kota urban. Impor budaya yang begitu masif dengan berkat uluran tangan teknologi informasi menjadi ancaman bagi budaya lokal-tradisional. Tidak jarang budaya lokal yang diwariskan dari leluhur kita hilang tertelan bumi tergantikan oleh budaya baru yang terkadang tidak sesuai dengan jati diri masyarakat urban. Budaya transnasional yang merupakan ciri khas kaum urban memang memiliki plus-minus nilai tetapi menjaga budaya lokal yang sejalan dengan konteks kehidupan modern jauh lebih baik untuk dipertahankan.
Posting Komentar untuk "Sosiologi Kaum Urban"