Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Saksi Nikah Perempuan

 

Penetapan Pengadilan Agama Tanjung Pandan yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara tertentu pada tingkat pertama dalam persidangan Majelis Hakim telah menjatuhkan penetapan di bawah ini dalam perkara itsbat nikah (pengesahan nikah) yang diajukan oleh para pemohon.

Para pemohon berdasarkan surat permohonannya yang telah terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama Tanjung Pandan pada tanggal 27 September 2019 dalam buku register perkara Nomor 0133/Pdt.P/2019/PA.TDN telah mengajukan permohonan itsbat nikah (pengesahan nikah).

Menimbang, fakta hukum tentang pemohon I dan pemohon II menikah menurut tata cara agama Islam dimana rukun-rukun perkawinan telah terpenuhi seperti ada wali nikah yaitu kakak kandung pemohon II, dua orang saksi yang bernama .. (perempuan) dan .. (laki-laki) serta adanya mas kawin (mahar) berupa ..  gram emas dan seperangkat alat shalat maka berdasarkan ketentuan Pasal 14 Instruksi Presiden (INPRES) Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, Majelis Hakim berpendapat bahwa rukun-rukun pernikahan antara pemohon I dan pemohon II telah terpenuhi sehingga perkawinan tersebut sah menurut  agama Islam namun mengenai saksi nikah yang bernama .. (perempuan), Majelis Hakim memberikan pertimbangan hukum di bawah ini

Menimbang, Majelis Hakim sepakat membolehkan saksi nikah seorang perempuan sebagaimana di dalam perkara a quo dengan beberapa argumentasi sebagai berikut:

Argumentasi pertama, hukum persaksian dalam akad nikah termasuk masalah fiqih (masa’il al-fiqhiyyah) yang terbuka untuk terjadinya silang pendapat di kalangan ahli hukum. Adapun dasar hukum ditetapkannya saksi dalam akad nikah adalah hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam al-Daru Qutni yang artinya:

“Tidak sempurna sebuah pernikahan tanpa wali dan dua orang saksi yang adil”. Di dalam redaksi hadits tersebut tidak disebutkan jenis kelamin saksi, apakah laki-laki atau perempuan sehingga di kalangan para yuris (ulama) berbeda pendapat seperti Syafi’iyyah dengan Hanafiyyah. Oleh karena itu, Majelis Hakim berpendapat jenis kelamin seorang saksi tidak mempengaruhi kualitas suatu akad nikah baik dari aspek yuridis maupun aspek etis.

Argumentasi kedua, Majelis Hakim berpendapat bahwa kata ‘La nikaha’ pada hadits di atas bermakna ‘nafyul ahwal’ yaitu meniadakan suatu keadaan yang menyebabkan ketidaksempurnaan perbuatan bukan ketidakabsahan perbuatan sehingga Majelis Hakim mengartikan hadits tersebut tidak sempurna sebuah pernikahan tanpa adanya wali dan kedua saksi. Dengan demikian penerapan redaksi hadits tersebut dapat dikontekstualisasikan sesuai dengan perkembangan zaman dan dinamika kebutuhan manusia dimana perempuan dapat menduduki saksi dalam akad nikah.

Argumentasi ketiga, Majelis Hakim berpendapat bahwa konteks sosio-historis hadits tersebut adalah konteks patriarki, pada saat itu laki-laki lebih dominan daripada perempuan baik dalam lingkup domestik keluarga maupun dalam ruang publik sebagaimana yang dikatakan oleh Nawal el Saadawi di dalam bukunya Perempuan Dalam Budaya Patriarki (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 254 yang kemudian diambil alih menjadi pendapat Majelis Hakim mengatakan:

 “Masyarakat Arab pada masa jahiliyyah adalah gambaran persilangan sistem patriarkat dan matriarkat dimana laki-laki memiliki tangan bagian atas. Di dalamnya tercermin karakter-karakter matriarkat yang perlahan-lahan mulai hilang dari tubuh masyarakat dan berganti dengan tahap patriarkat sebagai akibat dari kekangan yang dilakukan oleh kaum laki-laki terhadap kehidupan ekonomi dan agama”.

sehingga logis dan wajar jika subjek hukum yang berjenis kelamin laki-laki dapat menduduki posisi saksi akad nikah ketimbang perempuan. Dominasi peran laki-laki terhadap perempuan berpengaruh terhadap kodifikasi hukum Islam berupa saksi akad nikah harus berjenis kelamin laki-laki sebagai bagian dari rukun pernikahan namun ketika konteks patriarkhi telah bergeser ke konteks demokrasi seperti konteks keIndonesiaan maka konsekuensi yuridisnya adalah hadits tersebut harus dibaca dengan semangat egaliter yaitu memberikan kesempatan yang sama bagi laki-laki dan perempuan untuk menjadi saksi pernikahan.    

Argumentasi keempat, Al-Quran tidak pernah membedakan antara laki-laki dan perempuan dan diciptakannya laki-laki dan perempuan dari jiwa yang satu (Surah al-Zumar ayat 6). Christine Schirrmacer di dalam bukunya yang berjudul Islam and Society, (Bonn: Culture and Science Publ, 2008), hlm. 90 yang kemudian pendapatnya diambil alih menjadi pendapat Majelis Hakim mengatakan:

“Laki-laki dan perempuan itu setara di dalam Islam selama mereka mengucapkan dan menerapkan rukun Islam yang lima”. 

Majelis Hakim berpendapat bahwa dalam beragama, Tuhan tidak melihat jenis kelamin, kekayaan dan rupa di antara hambanya tetapi yang Tuhan lihat adalah ketakwaan dalam menyerahkan diri kepada ajaran agamaNya sehingga meniadakan keabsahan saksi perempuan dalam akad nikah adalah sebagai bentuk pelanggaran terhadap ketentuan dasar yang telah ditetapkan Tuhan. Majelis Hakim berpendapat bahwa di dalam hukum perkawinan Islam seperti saksi perempuan adalah boleh diterima selama memenuhi aspek kualitas dan kapasitas sebagai saksi bukan berdasarkan identitas seksual (sexual identity).

Argumentasi kelima, dalam konteks bernegara di Indonesia, setiap subjek hukum baik laki-laki maupun perempuan memiliki kedudukan yang sama dihadapan hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 28 D ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 sehingga kedudukan laki-laki dan perempuan adalah setara dan sederajat dalam memperoleh kesempatan di ruang publik dan privat. Perkawinan adalah hubungan privat antar individu dan antar keluarga, jika laki-laki dapat mengakses ruang privat sebagai saksi pernikahan maka perempuanpun juga memiliki akses yang sama yaitu sebagai saksi pernikahan.

Argumentasi keenam, dalam konteks masyarakat sipil hak perempuan untuk menjadi saksi dalam akad nikah merupakan hak asasi manusia berupa hak persamaan antara laki-laki dan perempuan yang tidak dapat dihilangkan oleh siapapun sebagaimana diatur dalam Pasal 3 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yaitu Konvensi Internasional tentang hak-hak sipil dan politik. Majelis Hakim berpendapat harkat dan martabat antara laki-laki dan perempuan adalah sama sehingga memiliki hak asasi yang setara dan sederajat. Kebolehan perempuan menjadi saksi pernikahan merupakan perwujudan penghormatan terhadap hak asasi perempuan untuk tidak mendapatkan perlakuan diskriminasi atas dasar gender sekaligus memastikan relasi gender dalam hukum perkawinan antara laki-laki dan perempuan adalah berimbang (justice as fairness) sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita.

Argumentasi ketujuh, peraturan tentang saksi akad nikah harus berjenis kelamin laki-laki diatur dalam Pasal 25 Instruksi Presiden (INPRES) Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Majelis Hakim berpendapat bahwa pasal tersebut harus dibaca dalam semangat egaliter dimana laki-laki dan perempuan sebagai subjek hukum memiliki kesempatan yang sama dalam hal aksesibilitas ke ruang publik maupun ruang privat seperti hukum perkawinan. Dalam perkara a quo, Pasal 25 tersebut tidak dapat diterapkan secara tekstual karena bertentangan dengan prinsip keadilan sebagaimana keterangan 2 (dua) orang saksi di dalam persidangan yang menyatakan bahwa ada 3 faktor yang menyebabkan saksi nikah seorang perempuan yaitu pertama, pemohon I seorang mu’allaf (baru masuk Islam) dan keluarganya beragama non-muslim sehingga tidak ada yang dapat dijadikan saksi nikah dari pihak keluarganya kecuali temannya seorang muslim. Kedua, pemohon II tidak memiliki keluarga di wilayah tersebut saat akad nikah dilakukan sehingga tidak ada tetangga, teman dan keluarganya yang dapat dijadikan sebagai saksi pernikahan mereka. Ketiga, agama di tempat pernikahan mereka akan dilaksanakan mayoritas beragama non-muslim seperti Budha, Konghucu dan Kristen Protestan sehingga pemohon I dan pemohon II kesulitan mencari seorang laki-laki muslim untuk dijadikan sebagai saksi akad nikah. Berdasarkan ketiga faktor tersebut, Majelis Hakim berpendapat bahwa penerapan Pasal 25 sangat situasional dan dapat disimpangi semata-mata keadilan dan kepastian hukum bagi para pemohon sehingga  saksi akad nikah perempuan dapat diterima sebagai saksi nikah dan sah secara hukum.

Argumentasi kedelapan, Majelis Hakim berpendapat bahwa ketiga faktor di atas termasuk kategori kebutuhan (hajat) yang bersifat memaksa dan tidak ada pilihan lain sehingga kedudukannya sama dengan kondisi darurat yang membolehkan untuk melakukan hal-hal yang sebelumnya dilarang seperti menjadikan saksi perempuan dalam akad nikah antara pemohon I dengan pemohon II sebagaimana telah disebutkan oleh al-Zarkasyi dalam bukunya Al-Manshur fi al-Qawa’id (Beirut: Wuzarat al-Awqaf wa al-Syu’un al-Islamiyyah, 1986), hlm. 24 yang diambil alih menjadi pendapat Majelis Hakim yang artinya: 

“Sesuatu kebutuhan itu menempati kedudukan darurat baik secara umum maupun secara khusus”.

Argumentasi kesembilan, Majelis hakim berpendapat bahwa mengesahkan perkawinan para pemohon dengan saksi seorang perempuan merujuk kepada Pasal 2 Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum yang berbunyi:

“Hakim mengadili perkara perempuan berhadapan dengan hukum berdasarkan asas penghargaan atas harkat dan martabat manusia, asas non diskriminasi, asas kesetaraan gender, asas persamaan di depan hukum, asas keadilan, asas kemanfaatan, dan asas kepastian hukum”.

Argumentasi kesepuluh, Majelis Hakim mengetengahkan konsep kesetaraan gender dalam bidang hukum perkawinan sehingga dapat terwujud melalui penyusunan kebijakan hukum perkawinan yang responsif gender sebagaimana diatur dalam Instruksi Presiden (INPRES) Nomor 9 Tahun 2000 tentang Strategi Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam semua bidang pembangunan termasuk bidang hukum perkawinan. Majelis Hakim berpendapat bahwa strategi Pengarusutamaan Gender (PUG) seperti membolehkan seorang perempuan menjadi saksi akad nikah merupakan produk kebijakan yang mempunyai peran penting dalam mengatasi berbagai ketidakadilan atau diskriminasi gender dalam bidang hukum perkawinan dan untuk mewujudkan pembangunan hukum perkawinan yang responsif gender dibutuhkan upaya terus menerus melalui berbagai cara termasuk melalui penetapan hakim dalam perkara a quo.

Fakta hukum tentang pemohon I dan pemohon II tidak ada halangan perkawinan seperti tidak ada hubungan nasab, hubungan susuan dan hubungan semenda sebagaimana diatur dalam Pasal 39 Instruksi Presiden (INPRES) Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam maka Majelis Hakim berpendapat bahwa perkawinan antara pemohon I dan pemohon II yang dilakukan pada tanggal 18 Agustus 2007 adalah sah karena antara pemohon I dan pemohon II termasuk subjek hukum yang diperbolehkan untuk menikah.

Fakta hukum tentang pemohon I dan pemohon II mengajukan perkara itsbat nikah (pengesahan nikah) bertujuan untuk mendapatkan status hukum perkawinan sekaligus status anak-anak para pemohon. Majelis Hakim berpendapat bahwa kedua tujuan tersebut harus dilindungi agar tertib hukum dan tertib administrasi sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak oleh karena itu Majelis Hakim memandang bahwa menetapkan sah perkawinan para pemohon terdapat kemaslahatan besar bagi para pemohon dan anak-anaknya yang sesuai dengan salah satu prinsip maqasid al-syari’ah (tujuan syariat) yaitu hifz al-nasab (menjaga keturunan) serta menghindari terjadinya kemudharatan berupa hilangnya hak-hak keperdataan antara para pemohon dengan anak-anaknya.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hukum di atas, Majelis Hakim berpendapat bahwa perkara itsbat nikah (pengesahan nikah) yang diajukan para pemohon dan kuasa hukumnya secara sah dan meyakinkan patut untuk dikabulkan.

Penetapan Nomor 0133/2019   

Posting Komentar untuk "Saksi Nikah Perempuan"