Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pemimpin Perempuan Menurut Islam

Pendahuluan

Kesempurnaan manusia terletak pada kesempurnaan jiwa. Manusia yang sempurna adalah manusia yang memiliki kedekatan dengan Tuhan dan kesempurnaan ibadah menentukan kualitas kedekatan kepada Tuhannya. Dalam kesempurnaan tersebut tidak ada perbedaan antara pria dan wanita. Setiap manusia bertugas membuat dirinya mulia sehingga menjadi terdidik dan rendah hati termasuk menjadikan dirinya sebagai pemimpin. Seorang pemimpin harus memiliki kecakapan baik aspek intelektualitas maupun aspek integritas tanpa harus mendiskriminasikan jenis kelamin tertentu karena setiap manusia memiliki kesempatan yang sama dalam menduduki jabatan publik.

Salah satu penyebab perempuan terhambat menduduki jabatan publik adalah mengakarnya konstruksi sosial berbasis patriarki dan akumulasi kekesalan yang merupakan kerangka struktural dan ideologis dimana kaum perempuan masa kini harus dimengerti. Gerakan feminis di seluruh dunia tidak lain kecuali menantang kerangka ini bersama dengan pembagian kerja seksual dan internasional yang berjalinan dengannya.


Pembahasan

Perempuan sebagai manusia pada umumnya memiliki kedudukan yang setara dengan laki-laki. Jika laki-laki memiliki kesempatan untuk menjadi pemimpin maka perempuan juga demikian. Hak aksesibilitas terhadap sektor ekonomi, sosial, politik, agama, dan budaya harus diberikan berimbang antara laki-laki dengan perempuan. Perempuan boleh menjadi pemimpin baik dalam konteks Kepala Daerah maupun Presiden yang terpenting memenuhi syarat, cakap dan memiliki kapasitas dalam menduduki jabatan tersebut.

Konstruksi patriarki harus dirubah menjadi budaya egaliter yang mengedepankan semangat persamaan dan kesetaraan sehingga perempuan dan laki-laki memiliki kesempatan yang sama dalam mengakses sektor kehidupan seperti sosial, budaya, politik, agama, ekonomi dan hukum.  Jika perempuan memenuhi persyaratan dan kecakapan di atas calon laki-laki maka perempuan tersebut lebih layak untuk diangkat menjadi pemimpin dan begitupun sebaliknya.

Nasaruddin Umar  di dalam bukunya Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an menyatakan bahwa dalam masyarakat industri, pola pembagian kerja belum banyak berbeda dengan masyarakat agraris. Status pekerjaan yang lebih tinggi dan kekuasaan politik masih didominasi oleh laki-laki sementara perempuan masih dominan di sektor pekerjaan yang berstatus lebih rendah dan akses untuk mendapatkan pengaruh politik tetap terbatas. Artinya dalam masyarakat industri, pembagian kerja secara seksual cenderung dipertahankan. Masyarakat industri mengacu kepada orientasi produktif. Perempuan dianggap the second class karena fungsi reproduksinya mereduksi fungsi produktivitasnya sehingga relasi jender masih lemah dan perempuan tetap dinomorduakan dalam pekerjaan dan jabatan publik. Pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan bukan hanya semata-mata pembagian aktivitas yang mendeterminasi pola asosiasi, pergerakan dan penggunaan ruang akan tetapi pembagian kerja mengarah kepada menanamkan kualitas gender yang oposisional.  

Bonus demografis Indonesia yang kaya sumber daya alamnya menjadikan perempuan sebagai pihak lain dalam pekerjaan dan lingkungan. Para sastrawan mencoba untuk mengkritisi bencana dan kerusakan alam akibat ulah manusia yang secara langsung maupun tidak langsung terpengaruhi dari kuasa patriarki .

Dalam konteks politik, perlu adanya gerakan nilai setara yaitu gerakan yang memaksa masyarakat agar perempuan dipercaya dan didorong untuk menduduki jabatan-jabatan politis seperti Kepala Daerah, Menteri, Hakim atau Presiden berdasarkan bekal naluri kegiatannya sehari-hari di rumah. Ketika seorang perempuan menjadi pemimpin maka naluri mengasuh dan mengayominya sebagai ibu akan terpancar, pintar mengatur keuangan dan melindungi keluarganya (red: rakyatnya) dari kejahatan.

Output seorang pemimpin adalah kebijakan (legacy) yang dikeluarkan apakah pro rakyat atau tidak. Seorang perempuan memiliki kemampuan untuk mengeluarkan kebijakan sebagaimana laki-laki. Rakyat akan menilai pemimpin berdasarkan kebijakan (legacy) yang pro rakyat bukan berdasarkan jenis kelamin. Semakin kebijakan tersebut pro rakyat maka semakin besar dukungan terhadap pemimpin tersebut. Perempuan berhak memilih dan berhak untuk dipilih sebagaimana laki-laki. Dalam konteks pemilihan umum, peran perempuan diharapkan dapat memberi warna dalam kemajuan realitas politik tanah air, bukan malah membungkamnya. Kurangnya akses perempuan terhadap jabatan publik karena konsep-konsep propaganda yang bertubi-tubi diarahkan kepada perempuan seperti peran ganda wanita karier atau kemitraan sejajar antara wanita dan pria. Perempuan didefinisikan dan dibebani identitas sebagai seorang wanita karier yang tidak lupa pada kodratnya sebagai ibu dan istri yang rela melayani suami tanpa berpamrih atau menuntut jatah kekuasaan. Sosok perempuan dalam wacana wanita karier yang menduduki jabatan publik belum dapat terlepas dari narsistik sepenuhnya dan membebaskan dari konstruksi femininitasnya.

Pemberdayaan perempuan dalam ranah politik, ekonomi, sosial, budaya, agama dan hukum akan menambah kekuatan sekaligus menyempurnakan bagi laki-laki untuk sama-sama membangun negeri. Perempuan berkewajiban untuk berpartisipasi membangun peradaban bangsa melalui skil dan kemampuan yang dimilikinya. Produktivitas dan naluri kepemimpinannya wajib disalurkan demi kebaikan bersama. Sentimen seksis harus dikesampingkan dengan berpikir objektif dan rasional semata-mata memberikan peluang bagi perempuan untuk terus mengabdi dan berkarya. Terbatasnya partisipasi perempuan dalam politik berhubungan dengan pembagian kerja. Politik yang dianggap sebagai ranah publik dengan demikian adalah dunia laki-laki yang memiliki posisi istimewa dihadapan subjek eksternal. Selain itu, penyebab perempuan hanya bekerja di ranah domestik rumah tangga karena perempuan terlalu asyik menjaga kecantikan tubuhnya, menjaga berat badan dan penampilannya sehingga lupa untuk bersaing merebut jabatan-jabatan yang berskala lebih luas. Padahal menurut Naomi Wolf kecantikan itu menindas perempuan itu sendiri, cantik itu adalah kelukaan dan penampilan perempuan menjadi sumber komersialisasi bagi laki-laki. Dan agar perempuan menjadi pribadi yang bebas dan merdeka maka perempuan harus memiliki definisi positif tentang seksualitas sehingga mitos kecantikan menjadi hal yang netral bagi perempuan.

Pemberlakuan hukum Islam ditujukan kepada semua mukallaf baik laki-laki maupun perempuan dan syariat Islam tidak mendikotomikan apalagi membenturkan antar jenis kelamin karena syariat Islam menilai hanya berdasarkan derajat ketaqwaan seseorang di sisi Tuhan. Seorang perempuan maupun laki-laki berhak menjadi pemimpin selama dapat mewujudkan kemaslahatan bagi semua lapisan masyarakat dan tidak menimbulkan kemudharatan. Keputusan strategis dan kebijakan yang diambil oleh pemimpin perempuan dianggap syar’i apabila sejalan dengan nilai-nilai syariat yaitu keadilan, kemanusiaan, kesatuan dan kesejahteraan.

Persoalan pemimpin perempuan adalah persoalan moral pemberdayaan. Moral ini bertujuan untuk kebaikan perempuan namun bukan pula untuk menyingkirkan posisi laki-laki dalam konteks jabatan publik. Perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama untuk menduduki jabatan pimpinan. Bio-kekuasaan yang dijustifikasi oleh sebuah hukum akan mengalami reaksi dari berbagai kelompok gender. Batasan-batasan gender dalam menduduki kekuasaan sebagai bentuk distribusi kegunaan  bukan distribusi jenis kelamin. Moral pemberdayaan ini dapat mengindari perempuan dari fitnah keji ketika wacana pemimpin perempuan menjadi perbincangan ramai di tengah masyarakat patriarki.

Pemahaman mapan tentang seorang pemimpin harus berjenis kelamin laki-laki adalah berangkat dari pemahaman tekstual terhadap Surat al-Nisa ayat 34 yang artinya:

“Kaum laki-laki adalah pelindung bagi kaum wanita karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”.

Menurut Yusuf Ali kata qawwamuna diartikan sebagai pelindung. Ayat ini tidak tepat dijadikan alasan untuk menolak perempuan menjadi pemimpin di dalam masyarakat. Jika dipahami secara sederhana atau tekstual maka ayat ini hanya menjustifikasi seorang pemimpin yang berjenis kelamin laki-laki padahal kita ketahui bahwa dalam konteks keterbatasan bahasa, menurut Peach dapat dipahami bahwa teks al-Qur’an terutama yang terkait dengan sejarah penulisan dan standarisasi al-Qur’an secara eksplisit ditulis dari perspektif laki-laki. Perbedaan linguistik semata-mata merupakan cerminan perbedaan sosial dan selama masyarakat memandang laki-laki dan perempuan berbeda maka perbedaan dalam bahasa laki-laki dan perempuan akan terus ada. Benar apa yang dinyatakan oleh Foucault bahwa agama merupakan ajaran yang tidak dapat dipisahkan dari ruang konteks sosial yang mengitarinya yang merupakan satu kesatuan pergulatan antara politis pengetahuan dan kekuasaan. Hal ini dikuatkan kembali oleh Shereen al Feki yang menyatakan bahwa syariah adalah sebuah teks yang dapat ditafsirkan dalam pengertian kebebasan seksual atau dalam pengertian penindasan seksual.

Akar persoalan jabatan publik adalah bersumber pada persaingan antara kaum laki-laki dan perempuan di bursa kerja. Persaingan yang tidak sehat justru dapat menimbulkan pengangguran yang dapat menghambat pertumbuhan ekonomi kedua belah pihak. Selain persaingan, imaji patriarki juga masih terlalu kuat di tengah masyarakat. Dalam imaji patriarki saat ini, perempuan adalah akibat sebagaimana ia menjadi akibat dari mentalitas pemikiran masyarakat patriarki. Akibat ini harus dihilangkan sehingga kesempatan perempuan menduduki jabatan publik semakin bertambah dihadapan laki-laki. Oleh karena itu, definisi jabatan publik harus didefinisi ulang menjadi jabatan yang dipersiapkan untuk manusia tanpa peduli jenis kelaminnya sehingga dalil-dalil hukum yang bersifat unisex dapat menyebar di tengah masyarakat patriarki.

Persoalan jabatan publik bagi perempuan tidak dapat terlepas dari pembahasan politik feminis. Politik feminis bisa diringkas sebagai politik yang didasarkan pada etika kepedulian. Dengan mengutip gerakan politik yang menyerukan etika kepedulian, misalnya kampanye hak memilih perempuan dan gerakan anti pornografi, feminis menyatakan bahwa etika kepedulian (ethic of care) bisa dipadukan dengan politik feminis progresif. Artinya politik feminis adalah politik yang mempertanyakan permasalahan kesempatan perempuan. Politik identitas feminisme timbul dari kegairahan usaha dalam mencari pengamalan baru feminisme yang dirangkaikan dengan penolakan terhadap sistem pengetahuan yang telah melahirkan identitas perempuan sebagai pasif dan kepatuhan yang alamiah. Adapun strategi pengarusutamaan gender untuk berkiprah di ranah publik termasuk menduduki jabatan publik melalui tiga sektor pokok yang diacu dengan indikator pembangunan manusia yaitu sektor pendidikan, kesehatan dan ekonomi.

Perempuan diperbolehkan menjadi kepala negara atau kepala pemerintahan (Perdana Menteri) selama dalam suatu negara, dimana sistem pemerintahan berdasarkan musyawarah, seorang kepala negara tidak lagi harus bekerja sendirian tetapi dibantu oleh tenaga-tenaga ahli sesuai dengan bidang masing-masing. Oleh karena itu, tidak ada halangan bagi perempuan menjadi kepala negara yang terpenting adalah kualitas dan integritas perempuan tersebut memenuhi persyaratan sebagai calon kepala negara atau kepala pemerintahan.

Harus diakui bahwa memang ‘ulama dan pemikir masa lalu tidak membenarkan perempuan menduduki jabatan kepala negara tetapi hal ini lebih disebabkan oleh situasi dan kondisi masa itu antara lain kondisi perempuan sendiri yang belum siap menduduki jabatan pemimpin. Perubahan fatwa dan pandangan pastilah terjadi akibat perubahan kondisi dan situasi dan tidak relevan lagi melarang perempuan terlibat dalam politik praktis atau memimpin negara.

Oleh karena itu, untuk terjadinya kedamaian, keadilan dan kebersamaan masing-masing individu dapat menghormati antar sesama, yang terpenting adalah bagaimana masyarakat dapat menciptakan setiap individu menjadi pribadi yang positif. Sifat positif inilah yang menyangkut keseimbangan bukan salah satu individu yang dominan. Apabila keseimbangan dalam bernegara sudah tercipta maka setiap individu akan menghormati individu lainnya sekaligus bahu membahu dalam membangun peradaban bangsa.

Kesimpulan

Menurut hukum Islam, seorang perempuan diperbolehkan menjadi pemimpin dan menduduki jabatan strategis seperti Kepala Daerah, Menteri, Hakim, Presiden dan jabatan politis lainnya selama kebijakan (legacy) yang diputus pro rakyat dan sesuai dengan nilai-nilai islami. Syarat terpenting menjadi pemimpin di dalam Islam adalah kecakapan dan kualitas diri bukan berdasarkan jenis kelamin tertentu. Pemimpin perempuan yang memenuhi kualitas dan kecakapan diri diharapkan dapat memberikan sumbangsih dan karya demi kemajuan suatu peradaban bangsa. Perdebatan hukum tentang pemimpin perempuan sudah selesai ketika Al-Qur’an menjelaskan bahwa seseorang dinilai berdasarkan derajat ketaqwaan di sisi Tuhan bukan berdasarkan jenis kelamin tertentu karena pada dasarnya perempuan yang berdaya maka negara semakin maju.

Akses terhadap jabatan publik tidak mudah diperoleh bagi perempuan di tengah mengakarnya sistem patriarki di masyarakat. Oleh karena itu, untuk mengimbangi konstruksi sosial berbasis patriarki diperlukan semangat kepedulian dan pemberdayaan terhadap perempuan sebagai upaya mendorong perempuan agar berperan bahu membahu untuk membangun kemajuan bangsa bersama laki-laki. Moral sentimen antar sesama harus dihilangi karena semangat mengeliminasi antar warga negara menjadi barang bekas yang tidak laku digunakan. Sebaliknya, membuka kesempatan dan berbagi akses antar warga negara menjadi barang mewah yang patut dipertahankan.      

 

Posting Komentar untuk "Pemimpin Perempuan Menurut Islam"