Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Internalisasi Nilai Pancasila

Pancasila adalah dasar negara yang dibangun atas fondasi 5 (lima) nilai yaitu ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, kebijaksanaan dan keadilan. Pancasila merupakan manifestasi nilai-nilai luhur yang hidup di permukaan masyarakat nusantara sebagai jati diri otentik yang tidak terlepas dari latar historis semangat untuk mencapai kemerdekaan bangsa. Oleh karena itu, konsekuensi ideologisnya adalah seluruh aktivitas berbangsa dan bernegara harus mempertimbangkan nilai-nilai Pancasila.

Mengapa terjadi konflik atas nama agama? Mengapa kita menjadi pribadi yang intoleransi akhir-akhir ini? Karena kita belum mengaktualisasi sila ketuhanan di dalam perbuatan. Konsep ketuhanan yang absolut terdistorsi maknanya disebabkan paham sektarian yang menguat. Dengan kecongkakan kita, Tuhan dikonsepsikan sesuai garis besar haluan kelompoknya. Jika demikian, beragama yang seharusnya hidup menjadi lebih “lega” alias universal berubah menjadi sempit / parsial. “Siuman beragama” dapat berhasil apabila kita mengedepankan semangat toleransi, moderasi dan mengakui liturgi agama bahwa Tuhan milik semua orang dimana kesalehan spiritual seirama dengan kesalehan sosial. Dalam konteks bernegara, solipsisme keagamaan setiap orang patut dihargai bukan dicaci maki, kita cenderung menyakralkan Tuhan namun kita lupa bahwa Tuhan menyakralkan manusia.

Mengapa terjadi dehumanisasi di negeri kita? Mengapa fakir miskin didudukan sebagai “warga kelas dua” sekaligus subordinasi dari warga lainnya? Karena kita belum mengaktualisasi sila kemanusiaan di dalam perbuatan. Entitas kemanusiaan masih tertutup rapat-rapat oleh cadar “nirkepedulian” akibat modernitas yang menuntut sikap individualistik. Antar manusia saling berkontestasi bukan berkolaborasi sehingga terasa hidup di nuansa alam rimba; yang kuat menaklukkan yang lemah. Semangat egoisme menjadikan kita tak sadarkan diri faktanya di sebelah kita masih ada sosok manusia hidup melata yang membutuhkan uluran tangan dimana martabatnya harus tetap terjaga. Harapannya, setelah menyelamatkan orang dari penderitaan yang hina dina, kita akan menuju kepada kebahagiaan yang positif.

Mengapa kita gemar sekali menghabiskan waktu untuk berkelahi saling nyinyir di ruang publik maupun di bilik maya? Founding fathers bangsa kita setengah mati memperjuangkan kemerdekaan secara bersama-sama. Rasa persatuan merupakan kekuatan besar untuk menghancurkan bedil dan meriam para kolonial, peluru yang tembus ke badan tak terasa justru semakin rasa sakit itu datang semakin bersemangat untuk berduel, ledakan meriam dan suara pistol layaknya sekedar bunyi sirine yang menghentak untuk bergerak. Itu semua dilakukan karena panggilan ibu pertiwi sekaligus rasa nasionalisme yang mengakar di dalam jiwa pejuang dan anak bangsa kala itu. Lalu bagaimana dengan kita? Iya, rasa memiliki atas bangsa Indonesia wajib ditanamkan sejak dini sekaligus mendorong semangat patriotisme, melek huruf dengan pendidikan kebangsaan yang tidak boleh terputus. Jika sila persatuan ini dirongrong terus menerus maka disintegrasi bangsa menjadi taruhannya. Yang perlu diingat adalah jika tidak bisa berperan/bermakna untuk bangsa maka jangan merongrong persatuan apalagi membuat “kecerewetan publik”.

Demokrasi deliberatif adalah salah satu ciri khas implementasi kebijaksanaan di ruang kekuasaan. Silang pendapat dan saling berdebat merupakan aktivitas lumrah di tengah meningkatnya IQ politik demokrasi dengan catatan selama perbedaan tersebut tetap mengarah kepada musyawarah mufakat. Persoalan kebangsaan diselesaikan secara bijak dan setiap keputusan didasarkan prinsip musyawarah mufakat tanpa harus menyudutkan argumentasi dan persepsi berbagai pihak. “Bid’ah politik” dalam kontestasi kekuasaan yang akrobatik nan licik harus ditukar guling dengan cara-cara yang lebih beradab.

Sila terakhir Pancasila adalah keadilan sosial. Menurut Syafi’i Maarif, sila ini “yatim piatu” sejak merdeka. Ujung implementasi ke 4 sila di atas adalah pengejawantahan keadilan sosial. Keadilan sosial selain kompatibel dengan ajaran agama, moral dan worldview juga sebagai weltanschauung. Keadilan sosial sebagai idea berwujud kesetaraan hak sospol, akses pendidikan dan sumber daya, perlakuan serta pengakuan dari negara. Secara simultan, kesejahteraan ekonomi telah bertransformasi dari ekonomi berbasis materi ke ekonomi berbasis pengetahuan. Artinya sumber utama kekayaan bangsa bukan hanya materi semata tetapi juga pengetahuan sehingga memberikan akses pendidikan sama pentingnya dengan akses sumber daya materi. Shahih apa yang dikatakan “Mufassir Pancasila” Yudi Latif bahwa “Pencideraan sila keadilan sosial dapat melukai kesepakatan berbangsa yang disebabkan distribusi keadilan yang tidak merata sehingga memicu reaksi dari berbagai pihak”. Kecelakaan sejarah ini harus kita sudahi dengan komitmen bersama mewujudkan sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Posting Komentar untuk "Internalisasi Nilai Pancasila"